“Masjid Al-Maksum”Pesona Masjid Abad 19
Langkah kaki saya terhenti di sebuah pertigaan, saat mendengar suara azan zuhur dari sebuah masjid, yang berjarak kurang lebih 200 meter dari Istana Maimun. Saya dan teman-teman segera menyusuri jalanan yang cukup lengang menuju sumbernya.
Suara azan tersebut tersiar dari sebuah menara Masjid Al-Maksum atau dikenal dengan Masjid Raya Medan. Masjid ini terletak di Jalan Sisingamangaraja, masih satu kawasan dengan Istana Maimun.
Aneh Sekaligus Mengagumkan
Tiba di pintu gerbang yang berbentuk persegi empat dan berornamen ala India, seorang bapak-bapak yang menunggu kotak sedekah langsung menegur, “Perempuan yang masuk masjid harus pakai kerudung,” katanya.
Kebetulan, saya ke masjid bersama beberapa teman, salah satunya teman perempuan yang beragama Nasrani. Akhirnya, dia tidak jadi masuk masjid dan hanya menikmati kemegahannya dari luar.
Begitu masuk pelataran, hamparan lantai demikian bersih, pantas, sejak dari pintu gerbang kami harus membuka sepatu atau sandal walau tidak ada tulisan “Batas Suci”. Saya lalu menitipkannya di tempat penitipan.
Sebelum shalat, saya terlebih dahulu berwudhu di tempat pengambilan wudhu yang terpisah dari bangunan masjid. Bentuknya mirip bangunan masjid, hanya ukurannya lebih kecil, seperti Musala.
Baca juga: Pakaian Adalah Cermin jati Diri Kamu
Baca juga: Pakaian Adalah Cermin jati Diri Kamu
Air yang mengalir dari kran rasanya bagai embun yang menyejukan, di tengah-tengah udara Kota Medan yang cukup panas. Rasa sejuk itu terus berlanjut hingga kaki menjejak lantai marmer yang berasal dari Itali di beranda masjid.
Saya sempat bingung ketika masuk masjid karena bentuknya aneh. Jika masjid-masjid lain berbentuk segi empat, masjid yang dibangun pada tahun 1906 ini agak bundar, yaitu persegi delapan dengan empat serambi utama. Serambi depan, serambi belakang, samping kiri dan samping kanan, yang sekaligus menjadi pintu utama.
Antara serambi yang satu dengan serambi lainnya dihubungkan oleh selasar, sehingga seolah-olah selasar tersebut dibuat untuk melindungi bangunan utama.
Selasar dilengkapi jendela-jendela terbuka berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan pada desain bangunan kerajaan-kerajaan islam di Spanyol pada abad pertengahan.
Keempat pintu utama dan delapan buah jendela serambi terbuat dari kayu jenis merbau yang diukir dengan ornamen khas Melayu Deli, penuh dengan bunga dan tumbuh-tumbuhan. Dengan serta merta, melahirkan nilai-nilai sakral dan religius bagi siapa pun yang memerhatikannya.
Konon, seluruh ornamen di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan sudah seusia bangunan dan masih tetap utuh. Sementara di depan masing-masing beranda terdapat tangga masuk.
Masuk ruang utama akan terlihat delapan pilar berdiameter 0,60 meter. Pilar menjulang tinggi menyangga kubah utama yang terletak tepat di bagian tengah masjid. Empat kubah lainnya berada di atas setiap sudut serambi.
Kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan. Selain itu ada dua buah menara di sisi kiri dan sisi kanan belakang masjid. Menara dihias ornamen perpaduan antara Mesir, Iran, dan Arab.
Setelah puas menyusuri selasar dan menikmati keindahan ruang utama, saya menuju mihrab. Mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Sangat mengagumkan. Sebelum kekaguman saya melebur dengan habisnya waktu zuhur, saya dan teman-teman segera shalat zuhur di sisi mihrab.
Pesona Eropa, India, dan Timur Tengah
Pada awalnya Masjid Raya Al-Maksum ini dirancang oleh Arsitek Belanda Van Erp yang juga merancang Istana Maimun, kemudian proses selanjutnya dikerjakan oleh JA. Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi Candi Borobudur di Jawa Tengah.
Sebagian bahan bangunan masjid diimpor dari Eropa dan Cina. Misalnya saja marmer untuk dekorasi diimpor dari Italia dan Jerman. Kaca patri dari Cina. Lampu gantung langsung didatangkan dari Prancis.
Meski usia masjid sudah satu abad (1906-2000), namun bangunan dan berbagai ornamennya masih tetap utuh dan kokoh.
Masjid peninggalan kerajaan Islam Melayu Deli tersebut hingga kini masih menjadi kebanggaan umat Islam Medan dan Sumut, bahkan menjadi salah satu keunikan sejarah Islam masyarakat Melayu di Sumatera, bahkan di Malaysia.
Masjid yang menjadi identitas Kota Medan ini, memang bukan sekadar bangunan antik bersejarah, tetapi juga menyimpan keunikan tersendiri mulai dari bentuk bangunan, gaya arsitektur, kubah, menara, pilar utama hingga ornamen-ornamen kaligrafi yang menghiasi tiap bagian bangunan. Masjid ini dirancang dengan perpaduan gaya arsitektur Timur Tengah, India dan Eropa abad 18.
Al-Maksum merupakan salah satu peninggalan Sultan Ma’moen Al-Rasyid Perkasa Alam –penguasa ke-9 Kerajaan Melayu Deli. Berkuasa antara tahun 1873-1924. Masjid Raya Al-Maksum berdiri diatas lahan seluas 18.000 meter persegi. Masjid Al-Maksum mampu menampung sekitar 1.500 jamaah.
Masjid bernuansa warna putih kebiru-biruan tersebut, pertama kali digunakan pada hari Jumat, tanggal 25 Sya’ban 1329 H. atau tanggal 10 September 1909. Perlu waktu tiga tahun untuk membangunnya.
Usai shalat zuhur saya dan teman-teman meluruskan kaki sejenak dengan tiduran di tengah ruangan utama masjid, membayangkan betapa makmurnya Medan pada abad ke-19. Ah, andai ada mesin waktu, saya pasti akan mencoba untuk memutarnya.
0 komentar